[ad_1]
Pada umurnya menjelang setengah abad, Ida Bagus Putu Purwa bukan perupa semata, melainkan perupa-pandita nan wicaksana lagi jenaka. Dalam kedudukannya itu, Gus Purwa, begitu hari-hari ini saya memanggil Ida Bagus Putu Purwa, menghikmati keperupaan dan kepanditaan sebagai panggilan, bukan karier belaka, yang ”ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”.
—
ARTINYA, bagi lulusan Sekolah Tinggi Seni Denpasar, Bali, ini, melukis adalah sebuah laku eksistensial yang memungkinkannya membicarakan dan merenungkan realitas sosial dan spiritual yang berubah dengan karya seni rupa sekaligus memahami dan menghayati karya seni rupa sebagai kesanggupan insaninya berdaya cipta dengan keindahan tanpa melangkahi pengalamannya sendiri.
Dengan begitu, kita bisa memahami dua belas lukisan arang dan cat minyak bertitimangsa 2022 Gus Purwa dalam pameran tunggalnya, Remembrance of Being, di Srisasanti Gallery, Jogjakarta, 21 Oktober–11 Desember 2022, sebagai semacam jendela daya cipta perupa yang memampukan kita, pinjam ubah kata-kata Susan Sontag, memanfaatkan karya untuk menafsirkan kehidupan, kalau bukan menggunakan kehidupan untuk menafsirkan karya.
Sebagaimana tersua di sana, lukisan-lukisan Gus Purwa memperlihatkan bentuk-bentuk surealis-dekoratif yang diolah dengan teknik realis mumpuni dan mengesankan untuk mengemukakan impian, kenangan, dan renungan, dengan atau sonder intensi kritis, moralistis, atau maknawi, apa-apa yang telah dan akan melayap tanpa terkatakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, jelaslah seluruh lukisan Gus Purwa dalam pameran ini merupakan ”the model of a picture” (karya seni rupa sebagai penggambaran kenyataan tanpa intensi kritis, moralistis, atau maknawi) sekaligus ”the model of a statement” (karya seni rupa sebagai pernyataan atas kenyataan dengan intensi kritis, moralistis, atau maknawi).
Secara kategoris, pemirsa nan budiman boleh tidak bersepaham dengan hal ini, ”the model of a picture” bisa kita temukan dalam lukisan, antara lain, Predana (180 x 130 sentimeter) dan Purusa (180 x 130 sentimeter).
Dua lukisan tersebut, sependek pemahaman saya dari percakapan dengan Gus Purwa, merupakan potret oposisi-berpasangan dua unsur alam semesta atau dua unsur penciptaan makhluk hidup menurut kepercayaan Hindu Bali: Purusa (jiwa, Brahman, batin, benih laki-laki, ayah) dan Predana (raga, Atman, benda, benih perempuan, ibu).
Saya harus buru-buru katakan, selain memohon pengertian atas kemungkinan salah paham atas pengetahuan, definisi, atau konsep Predana dan Purusa, dua lukisan itu memang menuntut kesadaran, kalau bukan keterlibatan, intelektual pemirsa dengan teks atau bacaan terkait kontennya. Meski demikian, kita tetap bisa menikmati dua lukisan itu apa adanya yang tertatap mata kita. Dalam hal ini, saya perlu memarafrasakan ungkapan sejumlah orang bijak yang diparafrasakan oleh Susan Sontag: ”Tak ada pemirsa yang bisa memahami dan menikmati lukisan di waktu yang bersamaan.”
Sementara itu, ”the model of a statement” bisa kita saksikan dalam, misalnya, Random Memories (200 x 400 sentimeter). Lukisan ini yang kali pertama tersua saya di antara lukisan-lukisan Gus Purwa lainnya, baik yang sudah rampung maupun yang sedang dikerjakan untuk pameran ini, ketika saya bertandang ke studionya di Jalan Bypass Ngurah Rai, Gang Ayu, Nomor 5, Blanjong, Sanur, pada Kamis pagi, 16 Juni 2022, tapi baru bisa secara saksama kami diskusikan saat saya berkunjung pada Sabtu pagi, 25 Juni 2022.
Dalam diskusi itu, saya sesungguhnya lebih banyak bertanya dan mendengarkan. Sebab, selain memang menghendakinya begitu, detail-detail perupaan lukisan itu, antara lain citra SpongeBob, ”The Thinker” bergelungan sulinggih, pesawat terbang berlogo swastika dari masa Perang Dunia Pertama, dan jukung atau cadik berkepala ikan, saya pikir perlu ”diterangkan” mengapa mereka ”ada” di kanvas itu.
Ternyata, keberadaan mereka digerakkan oleh, sebagaimana kemudian menjadi judulnya, kenangan acak ketika Gus Purwa sedang melukis di kanvas itu. Jukung itu, misalnya, mengada di lukisan itu saat dia terkenang alat transportasi tradisional nelayan Sanur yang kini sudah tak beroperasi lagi, kalau bukan telah tumpas dan punah, alih-alih ganti peran sebagai moda pariwisata, karena pembangunan jalan tol Bali Mandara.
Maka, keberadaan citra jukung itu di dalam Random Memories menandakan rasa kehilangan Gus Purwa yang menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang kini tersia-sia dan mungkin kelak dilupakan, tak terkecuali sejumlah tradisi atau ritual keagamaan yang memanfaatkan dan mementingkan jukung.
Alhasil, dengan ”the model of a picture” dan ”the model of a statement” itu, lukisan-lukisan Gus Purwa dalam pameran ini meyakinkan saya sebagai kemungkinan lain dalam perubahan dan kesinambungan tema dan pokok perupaan, dalam hal ini pantai, laut, di bawah laut, dan hal-hal di dalam dan sekitarnya, seperti nelayan, perahu, kapal, ikan, dan biota laut lainnya, seni lukis surealis-dekoratif di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. (*)
—
WAHYUDIN, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta
[ad_2]
Source link