[ad_1]
loading…
Perludem mengatakan, pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, oleh partai politik, menjadi menarik. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
Pasalnya, JR sebelumnya terhadap Undang-undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tersebut sudah mengalami pengajuan terbanyak di MK, yakni 201 kali dari 1.430 pengajuan, namun mayoritas diajukan oleh masyarakat sipil dan perseorangan.
“Ini menjadi menarik kalau kita lihat Judicial Review persoalan Pemilu proporsional buka atau tutup ini, justru datang dari kader partai politik di daerah,” ujar Heroik dalam diskusi webinar Lingkar Diskusi Indonesia (LiDI), Kamis (9/2/2023).
“Sedangkan jika kita mundur pada JR Pemilu tahun 2008, sama, yang melakukan JR itu kader parpol yang mendorong adanya pemurnian sistem proporsional Pemilu terbuka,” tambahnya.
Baca juga: Mengapa Sistem Pemilu Proporsional Tertutup?
Heroik mengungkapkan, ketika JR di MK khususnya pada problem Pemilu berdasarkan UU Pemilu, justru masyarakat sipil yang cenderung sering melakukan hal tersebut. Untuk itu, ia menilai adanya situasi menarik ketika anggota parpol, yang juga pemangku kebijakan, untuk mengubah UU Pemilu tersebut.
“Sebetulnya memang kalau melihat politik hukumnya, fakta Pemilu 2019 itu, sebetulnya ada wacana revisi UU Pemilu. Tetapi kemudian ada kesepakatan dari pemerintah dan DPR untuk tidak merevisi UU Pemilu tersebut karena alasan stabilitas dan kontinuitas,” jelas Heroik.
Baca juga: Yusril Sebut PBB Menghendaki Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Ia pun menuturkan, wacana JR proporsional tertutup ini dapat disimpulkan adanya aktor yang mulai menyadari ketidaksesuaian sistem pemilu yang dicantumkan dalam UU Pemilu 2017.
“Jadi di sini beda sekali, ketika pemangku kebijakan yang sudah menyepakati untuk tidak merevisi UU Pemilu, justru malah berusaha merubah sistem Pemilu saat ini melalui mekanisme JR,” katanya.
[ad_2]
Source link