[ad_1]
Merdeka.com – Pejabat tinggi PBB mengungkapkan, militer Myanmar memproduksi berbagai macam senjata untuk melawan rakyat sendiri berkat pasokan dari perusahaan di 13 negara.
13 negara tersebut di antaranya India, Jepang, Amerika Serikay, dan Prancis. Ini sangat kontras, mengingat sejumlah sanksi yang telah dijatuhkan Barat untuk Myanmar.
Menurut laporan pejabat PBB tersebut, senjata produksi dalam negeri digunakan untuk menindas mereka yang menentang militer.
Myanmar dilanda kekerasan sejak kudeta militer pada Februari 2021. Para penentang kudeta, yang melengserkan pemerintahan terpilih, bergabung dengan kelompok pemberontak etnis untuk melawan kekuasaan militer.
Laporan Dewan Penasihat Khusus Myanmar menekankan, beberapa negara anggota PBB terus menjual senjata ke militer Myanmar, dikutip dari BBC, Senin (16/1).
Perusahaan asing yang disebut dalam laporan itu memasok militer Myanmar dengan material mentah, pelatihan, dan mesin.
“Myanmar tidak pernah diserang negara asing,” kata mantan Pelapor Khusus HAM PBB, Yanghee Lee, dan salah satu penulis laporan.
“Dan Myanmar tidak mengekspor senjata apapun. Sejak 1950, Myanmar membuat senjatanya sendiri untuk melawan rakyatnya sendiri,” lanjutnya.
Laporan tersebut juga ditulis oleh Chris Sidoti dan Marzuki Darusman, keduanya adalah anggota Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar.
Menurut data resmi, lebih dari 2.600 orang dibunuh militer sejak kudeta 2021. Namun jumlah korban tewas diperkirakan 10 kali lipat.
Beratnya sanksi dan isolasi internasional yang diberlakukan setelah kudeta tidak menghentikan penguasa Myanmar untuk memproduksi serangkaian senjata, termasuk senapan sniper, senjata anti-pesawat, peluncur rudal, granat, bom, dan ranjau darat.
Laporan PBB ini bersumber dari sejumlah dokumen militer yang bocor, serta wawancara dengan para mantan tentara dan citra satelit pabrik senjata. Sejumlah foto yang diambil pada tahun 2017 membuktikan bahwa senjata produksi dalam negeri juga digunakan sebelum kudeta.
Para tentara terlihat membawa senapan buatan Myanmar saat pembantaian InnDin, ketika tentara Myanmar membunuh 10 pria Rohingya tak bersenjata.
Beberapa peralatan yang digunakan untuk membuat senjata diyakini diimpor dari Austria. Mesin presisi tinggi buatan GFM Steyr dari Austria digunakan di beberapa lokasi, menurut Dewan Penasihat Khusus. Mesin ini digunakan untuk membuat laras senjata.
Ketika mesin-mesin tersebut memerlukan perbaikan, mereka mengirimnya ke Taiwan, di mana teknisi GFM Steyr memperbaikinya sebelum dikirim kembali ke Myanmar. Laporan tersebut mengatakan belum jelas apakah teknisi perusahaan tersebut tahu mesin itu digunakan di Myanmar.
GFM Steyr tidak menanggapi permintaan komentar dari BBC terkait laporan ini.
Para penulis laporan tersebut mengakui bahwa mereka hanya menemukan sebagian kecil dari jaringan produksi senjata, tetapi sejumlah negara diduga terlibat:
– Bahan mentah dari China telah ditelusuri hingga produksi senjata di Myanmar, termasuk tembaga dan besi yang diyakini berasal dari China dan Singapura.
– Komponen utama seperti sekering dan detonator listrik telah dilacak dari perusahaan di India dan Rusia menggunakan catatan pengiriman dan wawancara dengan mantan sumber militer.
– Mesin di pabrik senjata Myanmar disebut berasal dari Jerman, Jepang, Ukraina, dan AS. Perangkat lunak untuk memprogram mesin diyakini berasal dari Israel dan Prancis.
– Laporan menyebut Singapura tampaknya berfungsi sebagai pusat transit, di mana perusahaan Singapura beroperasi sebagai perantara untuk pembeli militer Myanmar dan pemasok eksternal.
Selama puluhan tahun, militer Myanmar menjadi target sanksi internasional, tapi mereka tidak menghentikan produksi senjatanya. Jumlah pabrik senjata terus bertambah, dari sekitar enam pabrik pada 1988 menjadi 25 pabrik saat ini.
[pan]
[ad_2]
Source link